susah tidur. kemarin
malam aku membaca waiting for godot a.k.a ‘hadiah kecil’ dari
mr. razali kasim di mata kuliah sastra kontemporer dulu (damn! u make me so in love with this work, sir!).
karya sastra yang satu
ini – entah kenapa – terasa begitu istimewa buatku. ada sesuatu (ya, begitulah
syahrini berkata) di karya ini yaitu setiap kali dibaca menghasilkan sesuatu
(ya, lagi-lagi syahrini!) yang berbeda.
dulu pada saat kuliah,
aku mungkin menjadi satu-satunya karya ini begitu gelap dan kelam. point of view-ku yang memang suka nggak
biasa ini menelaah kalo karya ini berisi total soal perpisahan. bukan pertemuan
dua gelandangan atau slave/master
yang tertangkap sudut pandangku, tapi perpisahan mereka lah yang lebih mengena.
suram banget keliatannya. dan di kesimpulan akhir aku menyimpulkan, godot yang
mereka tunggu adalah kematian, yang pasti datang tapi entah kapan sesuai dengan
apa yang disampaikan si pembawa pesan.
sekali waktu, setelah
selesai kuliah, aku justru menangkap yang lain dari karya yang aslinya ditulis
dalam bahasa perancis ini. takdir. adegan dimana salah satu gelandangan
memerintahkan sang master menyuruh slave-nya
bernyanyi seperti menyadarkan kalo sesuatu (ah, syahrini... syahrini...) akan
terjadi pada waktunya. seperti takdir. tidak kurang tidak lebih. takdir datang
tepat waktu. dan dalam sekejap, godot berubah menjadi takdir. yang (tetap)
pasti datang tanpa kita tahu kapan, hanya ya... pasti. istilahnya kalo jodoh,
nggak akan kemana – beugh, apa pula ini?! –.
pernah juga sedikit
relijius saat membaca karya sastra yang paling populer di hampir seluruh
angkatan. aku melihat semuanya berhubungan dengan waktu. ya, pertemuan dua
gelandangan, pertemuan mereka dengan slave/master itu, ya... semuanya
berhubungan dengan waktu. kesimpulanku jatuh pada godot itu waktu. sesuatu
(aih... syahrini lagi!) yang dinanti – atau barangkali menghantui – banyak
orang. dan tanpa sebab pasti, aku
menganalogikan waktu sebagai tuhan. kebanyakan orang berharap pada waktu,
sebagaimana dua gelandangan itu berharap pada godot.
lalu kemarin malam,
untuk pertama kalinya, aku menemukan optimisme di karya ini. aku melihat godot
adalah sebuah harapan. for god’s sake,
mungkin karena suasana hati dan juga suasana sunyi senyap membuat pikiran jadi
lebih jernih. segetir apapun kehidupan dua gelandangan itu, mereka tetap punya
sebuah harapan akan kehidupan mereka. entah bakal terwujud atau tidak tapi
harapan itu tetap ada. menunggu godot. menunggu harapan.
dan aku merasakan
dingin usai membaca tulisan samuel beckett ini. karya sastra selalu merupakan
pencerminan kehidupan manusia. selalu ada pesan yang disampaikan. di sini. di
karya sastra yang membantuku mencintai karya sastra lainnya, ada pesan manis
yang disampaikan.
mungkin kita merasa
begitu banyak masalah dalam kehidupan kita. tak pernah ada kebahagiaan disana.
seperti sebuah terowongan gelap berliku-liku. begitu suram dan tak berwarna.
|
source: kaskus.us |
tapi percayalah, kita
selalu punya harapan untuk bahagia. sekecil atau mungkin se-absurd apapun, harapan selalu ada.
jangan pernah putus harapan. jangan pernah padamkan keinginan untuk bahagia.
seperti analogi terowongan tadi, ada seberkas cahaya yang menanti di ujung
terowongan.
so, jangan bersedih
lagi.
p.s: next time,
aku bakal bahas puisi favorit soal harapan pas zaman kuliah dulu.
Free Template Blogger
collection template
Hot Deals
BERITA_wongANteng
SEO
theproperty-developer